Rabu, 23 Maret 2016

Salinan kisah dalam buku Rambu-rambu Tarbiyah dalam Sirah Nabawiyah

Ketika saya SMA, saya memiliki kebiasaan menyalin buku yang telah saya baca dengan mengetiknya di warnet, dulu warnet adalah tempat hits bagi remaja, termasuk saya. Sehingga mau-maunya datang kesana membawa buku bacaan untuk saya ketik ulang sebagian agar bisa saya baca dikemudian hari. Bukunya biasanya saya dapat pinjaman dari perpustakaan daerah, berikut adalah salinan dari salah satu buku favorit saya tersebut

KESABARAN YANG LEMAH  
KESABARAN RASULULLAH 

Pada Perang Uhud, wajah Rasulullah menjadi sasaran anak panah hingga retak hidung dan tanggal gigi gerahamnya. Wajahnya yang mulia itu terluka, mencucurkan darah. Hingga tersebarlah berita bahwa beliau telah terbunuh. Kaum muslimin langsung berpencar mencarinya. Berbagai perasaan berkecamuk dalam benak mereka. Sebagian kembali ke Madinah, yang lain ke atas gunung. Meski demikian, beliau tetap bersabar, tetap bergeming dalam memimpin peperangan hingga berakhir.
Di lain saat ketika anaknya, Ibrahim, meninggal di sisinya, kedua kelopak matanya bercucuran air mata seraya berkata,
“Mata melelehkan hati berduka. Namun kita tidak bisa berkata apa apa kecuali apa yang diridhai Allah. Demi Allah, hai Ibrahim! Kami semua berduka berpisah denganmu.” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah)
Beliau juga bersabar menahan lapar, hingga diselipkannya batu pada perutnya. Beliau juga pernah shalat sambil duduk karena lapar. Diriwayatkan oleh Muslim dari Nu’man bin Basyir,
“Aku saksikan nabimu tidak memiliki korma dan apa yang dapat mengisi perutnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
”Aku lihat hari ini rasulullah kelaparan, tidak memiliki korma ataupun sesuatu yang dapat mengenyangkan perutnya.” (shahih muslim)
Beliau bersabar dalam dakwahnya, dalam menghadapi cercaan serta hinaan, tuduhan bohong: gila dan tukang sihir. Beliau diusir dari Thaif ketika sedang berdakwah disana. Dikeroyok oleh mereka, penduduk Thaif hingga anak anaknya. Mereka lempar dengan batu batu dari satu tempat ke tempat lain hingga terluka telapak kaki yang mulia itu. Diludahi wajahnya oleh Ibnu Abi Mu’ith, namun beliau hanya mengusapnya. Ini semua dilakukannya hanya karena mencari ridha Allah semata, dan Allah memang memerintahkan untuk bersabar.
“Bersabarlah hai (Muhammad) dan tiadalah kesabaran mu melainkan karena Allah.” (An-Nahl: 127) “Sesungguhnya hanya orang orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
Dalam shahih Muslim, dari Umi Salamah dikatakan: “ Aku mendengar Rasulullah saw., bersabda.”Tidaklah jika seorang muslim tertimpa musibah kemudian ia berkata sebagaiman yang diperintahkan Allah kepadanya: innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. ( Ya Allah, berilah kepadaku atas musibah ini pahala dan ganti yang lebih baik darinya.”
Ummu Salamah berkata,”Ketika Abu Salamah meninggal, aku berpikir siapakah dari kaum muslimin yang lebih baik daripadanya? Ia adalah keluarga pertama yang berhijrah kepada Rasulullah. Kemudian aku ucapkan doa itu dan Allah menggantinya dengan Rasul-Nya sendiri.”

KHUSYU’NYA PARA SAHABAT DAN PURA-PURANYA KITA  

Rasulullah usai dari pertempuran melawan salah satu kabilah yang menentang daulah islamiyah yang tengah berdiri di Madinah. Pertempuran itu dimenangkan oleh kaum muslimin dengan menghalau mereka kembali ke kampung halaman mereka. Salah seorang dari kabilah itu kembali ke rumahnya dan tidak menemui istrinya di sana. Ia mengira bahwa istrinya ditawan oleh kaum muslimin. Ia bersumpah untuk tidak kembali ke rumah hingga mendapatkan istrinya. Akhirnya ia mengintip pasukan muslimin. Rasulullah memerintahkan tentara agar berhenti ketika malam menjelang untuk menginap hingga pagi. Beliau meminta dari para sahabat untuk bertugas hirasah (ronda). Amar bin Yasir dan Ubad bin Bisyr sanggup memikul tugas itu. Ketika mereka keluar ke mulut gang, si Anshar berkata kepada si Muhajir, yakni si Ubad kepada Amar,
“Malam yang mana yang kau sukai, awal atau akhirnya?”
“Biarkan aku untuk awalnya.” Maka si Muhajir, Amar, mulai membaringkan tubuhnya lantas tidur. Sedangkan si anshar, Ubad, beranjak mengerjakan shalat. Kemudian datanglah orang itu. Ketika melihat sesosok manusia, ia yakin bahwa orang itu (Ubad) adalah penjaga kaum muslimin, maka ia bidikkan anak panah ke arahnya, ia lepaskan dan mengenainya, namun sahabat itu tetap dalam keadaan berdiri. Kemudian dilepaskan anak panah yang lain dan mengenainya, kemudian disusul dengan yang ketiga juga mengenainya hingga sahabat itu meneruskan ruku’ dan sujud. Setelah itu ia membangunkan sahabatnya dari tidur. Amar berkata,
”Duduklah dengan tenang, aku telah bangun.” Pengintai itu lantas melompat ketika dilihatnya kedua sahabat itu hendak membalasnya, dan kaburlah ia. Ketika dilihatnya tubuh sahabat ansyar mengucurkan darah, Amar berkata,
”Subhanallah, mengapa kau tidak membangunkan aku saat pertama ia memanahmu?”
“Saat itu aku sedang serius membaca satu surat, aku tidak ingin memutuskannya hingga tuntas. Maka panah demi panah mengenaiku, akupun ruku’ lantas membangunkanmu. Demi Allah, kalau bukan karena khawatir aku mengabaikan amanah (tugas) yang Rasulullah perintahkan aku untuk menjaganya, aku biarkan ia membunuhku hingga aku selesaikan bacaanku atau merealisasikan surat itu.”
Demikianlah kekhusyu’an mereka, bahkan sebagian meriwayatkan bahwa kakinya sampai terputus dalam keadaan shalat tanpa ia rasakan. Kehebatan macam apa itu? kekhusyu’an macam apa jika di antara mereka merasakan istirahatnya dalam shalat? Oleh karena itu, jika Rasulullah dikerumuni banyak problem atau malapetaka, beliau memanggil Bilal, agar Bilal segera adzan.
“Istirahatkan kita dengan shalat, hai Bilal!”
Beliau menganggapnya sebagai refreshing atas segala beban yang dirasakannya dari pendustaan kaumnya dan perbuatan mereka menghalangi jalan Allah serta rongrongan para pembesar Quraisy. Adapun kita, tubuh tubuh kita berdiri di masjid namun pikiran dan perasaan kita jauh melanglang buana ke luar masjid, baik diantara seluk beluk urusan bisnis, nasib, keadaan anak anak di rumah, binatang piaraan, maupun rencana rencana masa depan. Terbayang pula kecantikan istri dan tunangan. Pikiran kita dikerumuni oleh problem rumah tangga, anak anak, dan tetangga, urusan sawah, mobil, dan semua yang berkaitan dengan jual beli, service, karier, kenaikan pangkat, persaingan hingga semua pengembaraan jauh ke luar masjid. Sampai akhirnya kita mendengar ucapan imam, “Assalamualaikum”, dan kita terkejut. Seakan seseorang membangunkan kita dari dengkur yang pulas, agar kembali menyadari bahwa kita sedang berada di masjid, di antara jamaah shalat. Barangkali ini adalah salah satu sebab yang kita saksikan, bahwa di antara manusia yang dalam kondisi senantiasa menjaga shalatnya, tetapi masih melakukan banyak kemaksiatan dan kezhaliman. Hal itu pula yang membuat mereka tidak khusyu’ dalam shalat, tidak menyadari bahwa Allah ada di depan mereka, dan tidak mentadabburi apa yang mereka baca. Salatnya tidak dapat mencegah kemungkaran, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45) Ayat ini tidak diragukan lagi kebenarannya jika kita realisasikan kekhusyu’an dan kita tinggalkan kepura puraan.

HIFZHUL JANAH DALAM SIRAH  
RENDAH HATI YANG DISYARIATKAN DALAM AL – QUR’AN 

Al – Qur’an menamakannya sebagai Hifzhul Janah (merendahkan sayap, merendahkan hati). Seperti dalam terjemahan surat Asy-Syu’ara ayat 215,
“Dan rendahkanlah hatimu terhadap orang orang yang mengikutimu, yaitu orang orang yang beriman.”  Atau dalam terjemahan surat Al-Hijr ayat 88,
“Rendahkan hatimu terhadap orang orang yang beriman.”
Arti lain dari “hifzhul janah” adalah sikap tawadhu’ dan kasih sayang dalam bergaul. Yakni seseorang yang merendahkan dirinya sendiri dalam bergaul bagai burung yang hendak turun.

HIFZHUL JANAH DALAM SIRAH 

Pertama kali yang hendak kita ungkap adalah tentang sikap rendah hati dan ta’zhim- nya Abu Bakar Ash-Shidiq kepada Rasulullah dalam peristiwa hijrah. Pada peristiwa itu, nilai nilai cinta karena Allah serta kerendahan hati tampak jelas. Abu Bakar sendiri mengisahkannya sebagai berikut: Kami keluar, berjalan terburu buru pada siang dan malam melewati panas yang terik. Aku edarkan pandangan barangkali ada tempat berteduh bagi kami, hingga aku dapati sebuah batu besar. Aku mengendap kesana lalu meratakan tanahnya di bagian bawah yang teduh, aku gelar untuk rasulullah selembar kulit binatang.
“Berbaringlah, wahai Rasulullah!” Beliau pun berbaring. Lantas aku keluar mencari sesuatu, tiba tiba aku dapati seorang anak pengembala kambing, lalu aku tanyakan kepadanya.
“Siapa tuanmu, nak?”
“Seorang dari Quraisy,” ia sebutkan namanya dan aku tahu orang itu.
“Apakah terdapat susu pada kambingmu itu?”
“Ya.”
“Bisakah kau memerah untukku?”
“Bisa.”
Aku perintahkan ia mengambil satu kambing, agar dibersihkan putingnya dari debu. Ia juga membersihkan telapak tangannya. Aku ambilkan sebuah kantong yang terbuat dari kain dan menadahkannya pada tempat ia memerah susu itu. Lalu aku masukkan ke dalam mangkuk hingga terasa dingin bagian bawahnya. Kemudian aku temui rasulullah dan aku penuhi kebutuhannya. Aku katakana padanya, “Minumlah, wahai Rasulullah.”
Beliau meminumnya hingga terasa lega olehku. Begitulah, Rasulullah yang minum tetapi Abu Bakar yang merasakan kepuasan, hanya dengan menyaksikan kekasih-Nya minum. Sebenarnya ia merasa haus namun ia telah puas demi melihat saudaranya minum. Inilah itsar (mengutamakan kepentingan orang lain) yang merupakan peringkat tertinggi dalam ukhuwah dan kerendahan hati. Sikap rendah hati seperti ini bukan hanya terjadi pada Ash-Shidiq, namun juga terjadi pada sahabat yang lain. Dijadikan mereka oleh Allah sebagai perumpamaan terindah, bahkan Dia memuji mereka dalam kitab-Nya,
“Muhammad Rasulullah dan orang orang yang bersamanya, mereka bersikap keras terhadap orang kafir dan saling berkasih sayang di antara mereka.” (Al-Fath: 29)  

Al-Bilali, Abdul Hamid Jasim. Rambu-rambu Tarbiyah dalam Sirah Nabi/ Abdul Hamis Jasim Al-Bilali, penerjemah, FB. Marjan; editor, Trisno Susilo, Fajri Muhammad,Saptorini. – cet. 4. Surakarta; Era Intermedia , 2006 192 hlm.; 19,5 cm Judul Asli; Waqafat Tarbawiyah fii As-Sirati An-Nabawiyah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar